Selasa, 28 Mei 2013

Indonesia Perlu Kembangkan Sistem Kargo LNG


Denpasar, Bali Review - Alexander Harsema, Senior Engineer Business Development Marine Service GMBH menilai Indonesia bisa belajar dari China soal LNG Shipping. Sebagai salah satu eksportir terbesar setelah Australia dan Malaysia (18.9 MTPA/ 2012), Indonesia bisa lebih maju. Apalagi jika Indonesia bisa melakukan diferensiasi strategi antara bisnis LNG scala besar dan kecil.


"Indonesia tidak punya masalah dengan teknologi LNG. Saya pernah berkunjung di ITB dan semuanya ada di
sana. Sebagai negara kepulauan, lebih memungkinkan mengangkut LNG dari pada membangun infrastruktur pipa. Saya kira akan lebih baik jika Indonesia mulai mengembangkan sistem kargo untuk LNG skala kecil. Sehingga selain kapal LNG sebagai transportasi, ada juga kapal LNG yg tidak hanya berfungsi sebagai transportasi tetapi juga sebagai  storage (penyimpanan). Semacam fsru yg fleksibel. Ini akan menghidupkan perkapalan domestic, " papar Alexander Harsema-Mensonides dalam workshop 3th Annual LNG Transport, Handling and Storage di Padma Resort Legian Bali (27/5). 

Workshop ini merupakan bagian dari rangkaian acara
3th Annual LNG Transport, Handling and Storage yang diselenggarakan selama tiga hari ke depan oleh Majalah GEO ENERGI bekerjasama dengan All Event Group dari Singapura. Hari ini sebagian peserta seminar sedang menikmati olah raga golf di Padag Golf Nirwana, Bali. (Agung Wijaya)

Bisnis LNG, Bisnis Penuh Gizi


Denpasar, Bali Review - Untuk membantu pemerintah, kalangan bisnis, dan masyarakat umum, Majalah GEO ENERGI bekerja sama dengan AEG dari Singapura kembali mengadakan seminar Internasional tahunan bertajuk “3rd Annual LNG Transport, Handling & Storage Conference 2013, yang dilaksanakan di Padma Resort, Jl. Padma No. 1, Legian, Bali, pada Selasa-Rabu, 28-29 Mei 2013.
 
Pelaksanaan seminar tahun ini merupakan tahun ketiga, yang selalu sukses dihadiri kurang lebih 160 peserta. Sebagian besar, sebanyak 60 persen peserta berasal dari luar negeri dan 40 persen peserta dari dalam negeri. Kesuksesan ini tak terlepas dari para pembicara yang cukup kompeten di bidangnya.

Pada seminar yang ketiga ini, acara akan dibuka oleh Wakil Menteri ESDM, Susilo Siswo Utomo pada Selasa, 28 Mei 2013, pukul 09.00 WITA yang kemudian dilanjutkan dengan diskusi yang antara lain menghadirkan Rudi Rubiandini  (Kepala SKK MIGAS), Dr. Qoyum Tjandranegara (Komisioner BPH Migas), Hendi Prio Santoso, (Direktur Utama PT Perusahaan Gas Negara, PGN), Nanang Untung, (CEO & President Director PT BADAK NGL),  Lukman Mahfoedz (CEO & Presiden Direktur PT MEDCO ENERGI) , Hendra Jaya President Director PT NUSANTARA REGAS,  Achmad Widjaja,  KADIN Indonesia.

Pada hari kedua, Rabu 29 Mei 2013, diskusi akan diisi oleh Salis Aprilian (Senior Vice President – Gas & Power  PT PERTAMINA), Suryadi Mardjoeki, (Head of Gas and Fuel Oil Division PT PLN),     Thomas Suhartanto (Vice President – Business Development,  PT PERTAMINA GAS), Carmelita Hartoto (Chairwoman  INDONESIAN NATIONAL SHIPOWNERS ASSOCIATION),  Theo Lekatompessy, President Director,  PT HUMPUSS INTERMODA TRANSPORTASI.

Dan pembicara dari luar negeri antara lain Mr. Giulio Tirelli (Director 4-stroke Portfolio & Applications WARTSILA), Methar Thongma (Manager – NGV Business & Product Development Division PTT PUBLIC COMPANY LIMITED), Alexander Harsema-Mensonides (Senior Engineer Business Development MARINE SERVICE GMBH)

Mengapa tema yang dipilih selalu masalah LNG, sebab, kebutuhan LNG pada tahun-tahun meendatang akan semakin meningkat di tengah melambungnya harga minyak dunia. Di samping itu, bahan bakar minyak, cepat atau lambat harus mengikuti  harga internasional. Artinya subsidi BBM perlahan akan dicabut. Untuk  menjaga ketahanan energi, maka kita tidak bisa lagi hanya mengharapkan bahan bakar minya.

Pada dekade mendatang, permintaan LNG melonjak tinggi. Menurut proyeksi lembaga konsultan global Wood Mackenzie, pada 2025 India akan mencatatkan pertumbuhan permintaan LNG sebesar 20 juta ton.

Mulai 2020, China akan meningkatkan penggunaan gas hingga tiga kali lipat dari saat ini. Itu dilakukan untuk mengurangi ketergantungan kepada batubara. Untuk tahun ini saja, China akan memiliki proyek impor gas sekitar 10 million tons per annum (mpta).

Pertumbuhan permintaan LNG sedunia selama ini ditentukan sejumlah negara, seperti Korea Selatan, Cina, dan Jepang. Pertumbuhan permintaan LNG dunia dalam 10 tahun mendatang, yang sebagian besar disokong Asia, diperkirakan memperketat pasar spot LNG.

Pertumbuhan ekonomi Asia Tenggara dan tingginya permintaan akan listrik di negara-negara kawasan ini mendorong permintaan LNG di Asia. Pada saat yang sama, pasokan LNG antar negara Asia Tenggara akan semakin berkurang. Di luar Asia, pertumbuhan pasar LNG ke depan juga akan ekspansif dari kawasan Amerika Utara.

Di pasar domestik, permintaan LNG juga akan terus menanjak. Hingga tahun 2020, pertumbuhan permintaan LNG didorong oleh melonjaknya kebutuhan dari berbagai sektor. Porsi pembangkit listrik baru PLN berbahan bakar gas sekitar 8-10% per tahun. Pada tahun 2020, 30% kapasitas Pembangkit Listrik PLN akan menggunakan gas.

Kebutuhan gas dari Industri, selain pupuk, seperti sektor logam, keramik, kertas, kaca dan makanan, diperkirakan tumbuh 5-7% hingga tahun 2020. Pada tahun 2020, 65% dari sektor industri tersebut akan mengonsumsi gas. Sementara kebutuhan gas bagi pabrik pupuk juga meningkat sekitar 5-6% per tahun.

Program konversi BBM ke gas akan turut mendorong konsumsi gas ke depan. Pada 2020, diperkirakan 50% kebutuhan bahan bakar minyak di Jawa, Sumatra dan Kalimantan dapat dikonversikan ke gas.

Di luar itu, peluang baru muncul. Pemerintah tengah menjajaki kemungkinan memanfaatkan LNG untuk sumber energi penggerak mesin kapal laut. "Selama ini kan kapal laut terutama kapal perintis masih menggunakan bahan bakar minyak (BBM) subsidi jenis solar. Kalau menggunakan gas lumayan bisa mengurangi subsidi BBM," kata Pelaksana tugas Dirjen Migas A. Edy Hermantoro, akhir Januari lalu.

Langkah ini menambah deretan peluang makin panjang. Sedangkan dari sisi pasokan, prospek industri LNG nasional sangat didukung jumlah sumber daya gas alam yang dimiliki. Menurut perkiraan geologis, jumlah sumber daya migas yang berada di 60 cekungan di darat dan lepas pantai sekitar 70 miliar barrel (bbls) minyak bumi dan sekitar 330 triliun kaki kubik (tcf) gas alam. Sementara jumlah cadangan yang bisa diproduksi dengan kondisi teknologi dan ekonomi saat ini (proven reserves) sekitar 5 bbls minyak dan 92 tcf gas bumi.

Captive market

Peluang terbuka lebar lantaran kebutuhan dan pasokan tidak linier. Berdasarkan data PT Pertamina Gas, neraca gas di  Jawa Tengah dan Jawa Barat diprediksi bakal terus negatif dari 2013 hingga 2020. Sementara neraca gas di Jawa Timur terus positif dalam kurun waktu ini.
Pada  2013 total kebutuhan gas untuk industri mencapai 2.491 juta standar kaki kubik per hari (mmscfd). Namun pasokan baru bisa dipenuhi 1.913 mmscfd. Hanya Jawa Timur  yang mampu dicukupi pasokannya sendiri. Pasokan di kawasan tersebut mencapai 854 mmscfd, sedangkan kebutuhan hanya sebesar 717 mmscfd.

Jawa Barat dan Jawa Tengah masih akan kekurangan pasokan gas hingga 578 mmscfd. Pasokan gas untuk Jawa Barat baru terpenuhi 1.026 mmscfd, dari total kebutuhan 1.704 mmscfd dan Jawa Tengah baru terpenuhi 33 mmscfd, dari total kebutuhan 71 mmscfd.

Kebutuhan gas di Jawa pada 2020 akan melonjak jadi 3.388 mmscfd sementara dari kontrak yang ada sekarang baru dapat dipasok sebesar 1.680 mmscfd. Posisi pasokan gas untuk Jawa Timur tetap berlebih hingga tahun 2020 sementara Jawa Barat dan Jawa Tengah masih defisit.

Dengan kondisi demikian, kawasan Jawa adalah captive market. Besarnya peluang pasar konsumen gas di Jawa tersebut mencapai 578 mmscfd pada 2013, dan melonjak jadi 1.708 mmscfd pada 2020. Atau, jika dikapitalisasi dalam nilai pasar, peluang captive market pengguna gas yang sudah pasti di Jawa mencapai US$ 1 miliar atau hampir Rp 10 triliun jika menggunakan asumsi harga gas US$ 5 per mmbtu. Captive market ini akan melonjak hingga tiga kali lipat mencapai US$3 miliar atau hampir Rp 30 triliun pada 2020.

Pemain di bisnis LNG juga masih sedikit. Saat ini, Indonesia baru memiliki tiga kilang LNG, yaitu kilang LNG Arun yang berkapasitas 12,85 Million Metric Ton Per Annum/MMTPA, Kilang LNG Bontang dengan kapasitas 21,64 MMTPA dan Kilang LNG Tangguh yang berkapasitas 7,6 MMTPA.

Ke depan, direncanakan akan dibangun lagi tiga kilang LNG. Pertama, Kilang Donggi Senoro LNG akan dibangun tahun 2014 dengan proyeksi pasokan gas sebesar 335 Million Metric Standard Cubic Feet Per Day/MMSCFD, yang dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan domestik sebesar 30 persen  dan ekspor 70 persen. Kedua, kilang Masela LNG yang akan dibangun tahun 2016, dengan kapasitas 4,5 MMTPA. Ketiga,  kilang Natuna LNG direncanakan dibangun tahun 2022.

Agaknya, peluang ini pula yang turut mendorong sejumlah perusahaan asing dan lokal akan turut mengembangkan LNG di dalam negeri.

Konsorsium Pertamina, PGN dan PLN telah menyiapkan rencana untuk mengembangkan terminal penerimaan regasifikasi unit (floating storage regasification unit/FSRU). Saat ini FSRU di Teluk Jakarta telah beroperasi. Tidak lama lagi akan dibangun FSRU di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Halmahera, Maluku Utara, Telo dan Minahasa, Sulawesi Utara.

Selain BUMN, ada juga swasta. PT Shell Indonesia (Shell) belum lama ini meneken nota kesepahaman (MoU) bersama PT Perusahaan Gas Negara (PGN) untuk menjajaki potensi pengembangan dan pengoperasian LNG berskala kecil di Indonesia.

PT Humpuss Intermoda Transportasi bahkan sudah ancang-ancang. Mulai tahun ini, Humpus akan fokus pada proyek pengadaan kapal LNG Array dan intermoda offshore. Untuk itu, Humpuss telah menyiapkan pendanaan senilai US$ 120 juta atau sekitar Rp1,15 triliun.

Dengan kondisi regional dan global seperti itu maka sebenarnya saat ini merupakan saat yang tepat untuk terjun ke bisnis LNG. Bila modalnya besar, bisa mencoba mengeksplorasi blok-blok LNG di Indonesia yang masih belum tergarap.

Bila ingin meniru Pavilion Energy, unit bisnis LNG Temasek, dengan cara membangun infrastruktur penerima, untuk memenuhi kebutuhan domestik. Hal ini mengingat untuk membangun infrastruktur tersebut dibutuhkan waktu 3 hingga 5 tahun.

Atau bila modalnya relatif kecil, yang dilakukan Himpunan Wiraswasta Nasional (Hiswana) Minyak dan Gas Bumi Jawa Timur bisa menjadi contoh. Mereka patungan guna menginisiasi pengembangan depot pengisian LNG untuk wilayah Surabaya dan sekitarnya. Investasinya cukup dengan Rp 170 miliar per unit. Tak ada rotan, akar pun jadi. (Wayan Wijaya)